Kenangan 10 Hari di Mekah bag. 2



Sambungan dari sini.

Istilah harga tidak pernah bohong memang benar sekali. Tarif ONH yang kami bayarkan ke travel ini jika dibandingkan  dengan tarif biro perjalanan lain memang tergolong lebih mahal. Tapi dari yang kami alami mulai dari sebelum keberangkatan, ketika di mekkah, ketika melakukan manasik haji, juga selama kami di madinah, kami selalu diservice dengan baik, dimanjakan dengan berbagai hadiah juga fasilitas serta yang terpenting adalah senyum dan perhatian dari para staffnya. bahkan yang si empunya travel ini sempat2nya menegur kami di mina, menanyakan kami apakah ada masalah, sebagai bentuk perhatiannya. Alhamdulillah kami tidak pernah menemukan kesulitan yang berarti meski jumlah pesertanya ratusan, kami merasa selalu diperhatikan. Mungkin hanya soal makanan saja yang jadi komplain orang Indonesia yang tak biasa menyantap hidangan turki.



Salah satu hal yang perlu disyukuri kami ikut dengan rombongan Forkom ini adalah ada pembimbing yang tidak hanya membantu ketika manasik saja, juga membantu masalah2 teknis dan tempat bertanya mengenai islam terutama fiqih. Pembimbing ini sangat penting bagi kami, karena dia yang akan menjelaskan bagaimana ibadah2 haji dilakukan. Untungnya pembimbing kami ada dua yakni kami bisa ikut yang berbahasa Jerman dibimbing oleh ustadz mustoufa yang ditunjuk oleh pihak biro perjalanan dan ustadz orang indonesia yang ditunjuk oleh forkom. Beruntunglah kami, sehingga manasik haji kami bisa sesuai dengan manasik hasi rasulullah saw. Kebayang sekali kalau kami harus bergabung dengan grup turki yang sebagian besar memegang mazhab lain yang berbeda dengan kami.

Ia bernama Assathin Siregar. Tubuhnya tidak gemuk, berpostur kecil. Usianya ada dikisaran 23 tahun. Saat ini beliau sedang menyelesaikan tugas akhir program S2 jurusan ilmu hadist di Universitas Madinah. Hasil obrolan dengan beliau terkuak sedikit kehidupan pribadinya. Beliau alumni pondok pesantren gontor dan merupakan adik kelas ustad Anas yang merupakan teman satu kuliah ustad Firanda yang kedua2nya merupakan pengisi materi kajian ba’da subuh dan maghrib di masjid nabawi. Ustad Assathin baru menikah. Orangnya ramah dan karena masih muda, bisa dengan mudah berinteraksi dengan kami jamaah haji Indonesia dari jerman.

Keberadaan ustad Assathin ini sangat membantu dalam proses manasik haji dan juga tempat bertanya seputar keislaman. Namun karena masih muda dan mungkin pengalaman belum banyak, kadang2 terlihat dalam beberapa kesempatan beliau agak ragu dan bimbang dalam menjawab pertanyaan dari jamaah. Semoga Allah menjaga beliau dan memudahkan beliau dalam menuntut ilmu sehingga dikemudian hari bisa menjadi ulama yang baik dan berguna bagi umat.

Ada beberapa obrolan seputar islam yang cukup menarik dan berbekas dalam ingatan. Berikut uda coba bagi minimal dua hal yang berasal dari obrolan kami berdua, semoga bermanfaat.

Adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk memanjangkan jenggot. Selama ini uda pahamnya memanjangkan jengot itu adalah sunah dalam arti kalau dilakukan itu berpahala kalau di tinggalkan tidak mengapa. Tapi rupanya menurut ustad Assathin hukumnya adalah wajib. Dasarnya adalah, pertama, bahwa sunnah dalam definisi diatas berlaku untuk definisi fiqih. Sedangkan mengikuti sunnah rasul itu hukumnya adalah wajib selama mampu dilakukan. Alasan kedua semua nabi yang digambarkan dalam Al-quran memiliki jengot. Semua sahabat juga seperti itu, hal ini menunjukkan keutamaan dan contoh.

Ada yang menarik dari kewajiban ini. Menurut Ustad Assathin, yang diwajibkan adalah memanjangkan bukan menumbuhkan. Artinya bagi muslim yang memang tidak diberikan kesempatan oleh Allah memiliki jengot maka tidak berdosa baginya kalau tidak memiliki jengot. Tidak perlu juga membeli ramuan untuk menumbuhkan, karena memang tidak ditakdirkan berjengot. Dalam pemeliharan jengot, rasulullah tidak pernah memotong jengotnya, namun para sahabat, dalam hal ini, abu bakar dan umar pernah memotong jengotnya setelah panjangnya melebehi satu gengam tangan. Semoga Allah menjaga niat untuk mengikuti salah satu sunnah rasul ini.

Berjilbab adalah wajib. Untuk hal ini sudah tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama berdasarkan dalil dari al-quran maupun hadis. Apabila seorang muslimah tidak berjilbab (atau bahasa yang paling tepat adalah hijab) maka tidak hanya muslimah yang bersangkutan akan berdosa namun mahramnya yang membiarkannya dengan berbagai alasan juga akan berdosa dan akan dimintai pertangung jawabannya kelak.

Perbedaan pendapat yang ada hanya pada kondisi apakah muka dan telapak tangan juga merupakan aurat. Baik yang mengatakan iya dan tidak, dua2nya memiliki dalil yang bisa diterima. Yang mengatakan iya, berdalil akan kondisi isteri2 rasul yang semuanya bercadar dan juga salah satu hadist tentang dua orang perempuan bertemu dengan seorang pria buta yang diingatkan untuk tetap menutup wajah oleh rasulullah. Kedua wanita tadi mengatakan bahwa pria itu buta, dan rasul menjawab bahwa penggunaan cadar itu untuk kepentingan wanita bukan untuk kepentingan sang buta agar wanita terlepas dari fitnah. Walahhua’lam bissawab. Kedua2nya ada dalilnya dan tidak berdosa untuk mengikuti salah satu diantara keduanya, yang berdosa kalau tidak menggunakan hijab.


Umrah Berkali-kali dalam satu perjalanan – dari makruh hingga bid’ah

Pernah satu hari kami selesai makan siang agak telat. Waktu sudah menunjukkan pukul 17:00 yang berarti tinggal 30 menit sebelum maghrib. Kami mencari tempat untuk shalat namun ruangan dalam masjid sudah penuh. Kami akhrinya memutuskan untuk naik ke lantai 3 masjid karena pada sore hari tentunya sudah tidak panas lagi. Alhamdulillah di lantai atas penuh namun masih ada tempat bagi kami. Menjelang adzan datang sepasang jamaah yang dari pakaiannya kami mengira pasti dari Indonesia. Sayangnya di deretan kami hanya tinggal 1 tempat kosong. Jadilah pasangan ini terpaksa berpisah. Yang pria duduk di shaf lebih depan dan yang wanita duduk disamping Neng.

Beberapa saat kemudian terjalin obrolan antara Neng dengan ibu ini. Rupanya beliau berasal dari sukabumi. Akhirnya neng dan ibu itu saling peluk-pelukan, layaknya anak ketemu ibu. Obrolan menjadi seru dan terlihat senangnya apabila bisa ketemu orang satu kampong di tanah suci ini. Satu obrolan yang cukup penting adalah cerita dari sang ibu yang menginformasikan kalau beliau baru selesai umrah sunah yang ke 6 kali. Iya benar yang ke enam kali. Beliau berpendapat mumpung lagi di sini kenapa tidak. Padahal tempat tinggal mereka cukup jauh dari masjidil haram. Jadi mereka selalu umrah setelah subuh dengan pergi ke Tan’im atau yang lebih dikenal masjid Aisyah (nanti akan diceritakan kenapa disebut masjid Aisyah) untuk berihram. Kemudian melaksanakan tawaf dan sai hingga waktu dhuha menjelang dzuhur.

Batas tanah haram

Menurut ibu tadi, menuju tempat miqot bisa naik taksi atau kalau beliau dengan naik bus hanya bayar 2 riyal dari terminal bis (sakko). Hanya keluar sebentar dari tanah haram untuk berniat dan kembali ke haram dengan bis yang sama. 

Mendengar cerita ibu tadi tentu saja kami berdua menjadi terpancing untuk ikut melakukan hal yang sama. Apalagi karena merasa umrah wajib kemarin masih ada kekurangannya. Dan setelah tanya ustadz assathin, katanya umrah sunnat bisa juga menutupi kekurangan layaknya shalat rawatib menutupi kekurangan shalat fardhu.

Sesampainya di hotel di restoran ketika akan sarapan, kami ditegur oleh bu Chodijah. Beliau menyampaikan kalau beliau akan umrah besok pagi ditemani ustad Asathin untuk pergi ke miqotnya. Karena dia merubah niat hajinya yang tadinya buat dia (mengulang haji yang dulu) menjadi niat badal untuk ibunya, sehingga dia harus kembali berumrah. Mendengar itu kami sontak menyatakan ingin ikut karena merasa lebih aman apabila ada yang menemani ke miqot. Setelah mengobrol dengan yang lain, rupanya ada beberapa yang juga berminat ingin ikut dan pada akhirnya terkumpulah 6 orang yang ingin melaksanakan umrah sunnah ini. Niatan yang pergi pun bermacam2. Ada yang seperti kami ingin melaksanakan umrah sunnah dan ada yang ingin membadalkan orang lain.

Keesokkkan paginya disaat acara tausiyah dhuha dengan ustad Asathin ada sedikit perubahan rencana. Karena pada hari itu teman2 dari program haji pendek akan tiba maka agar memudahkan teman2 program pendek rencananya umrah akan digabung sehingga ustad Asathin dapat juga membimbing mereka. Karena itu untuk kami yang umrah sunnah yang seyogyanya pergi ke miqot pagi berubah menjadi ba’da ashar. Ketika ba’da ashar tiba, berkumpulah kami di lobby hotel. Lalu dengan bantuan ustad Asathin kami mencari taxi dan dapat taxi yang bisa muat untuk 8 penumpang termasuk sopir. Setelah tawar menawar sampailah kesepakatan 100 saudi riyal untuk pergi ke miqot pulang pergi.

Mesjid aisyah bagian perempuan
Di mekah ini terutama ketika musim haji, tidak ada taksi yang mau menggunakan argo dan ongkos taksi bisa naik hingga 10 kali lipat ongkos di luar musim haji. Perjalan ke miqot hanya sekitar 7.5 km dan memakan waktu 15 menit. Sesampai disana kami, yang laki2 berganti ihram. Sedangkan yang perempuan langsung berwudhu shalat sunnah tahiyatul mesjid di sana dan berniat ihram. Lalu setelahnya kami bergegas kembali ke hotel. Karena macet, kami sampai dihotel sudah hampir maghrib dan sangat disayangkan tidak sempat lagi shalat di masjidil haram, akhirnya kami memutuskan untuk shalat di hotel dan setelah isya baru pergi ke masjidil haram untuk melaksanakan umrah. Sekitar pukul 20:00 kami kembali berkumpul di loby dan bersiap menuju masjidil haram.

Kali ini Alhamdulillah jumlah jamaah tidak sebanyak ketika kami datang pertama kali. Dan kami berhasil thawaf di lantai dasar dekat dengan ka’bah. Bu Chodijah kali ini didorong oleh orang yang dibayar oleh beliau. Pendorong ini adalah dua wanita yang merupakan kenalan salah satu petugas katering di hotel kami yang memang sudah merupakan pekerjaannya memberikan jasa dorong. Namun katanya ketika hendak tawaf, mereka sempat kena sensor askar yang menuntut agar pendorong yang dibayar harus resmi dari pihak mesjid terkecuali keluarga/muhrimnya. Hingga mengharuskan mereka 'berkelit lidah' untuk bisa tawaf di sana.

Untuk thawaf walaupun kami berada di lantai dasar, tetap saja situasi tidak memungkinkan mendekat ke hajar aswad. Setelah tawaf, kami lanjutkan dengan sa’i dan alhamdulillah umrah sunnah telah berhasil kami jalankan dengan lancar. Alhamdulillah, berbekal pengalaman umrah wajib kemarin, rasanya umrah sunnah kali ini lebih mantep, insyaAllah.

Masjidil haram

Entah kenapa, tidak seperti teman2 yang lain, tidak ada pada kami keinginan untuk melakukan umrah sunnah lanjutan setelahnya. Mungkin ketika itu kondisi badan neng juga sudah mulai menurun, dikhawatirkan pas haji nanti malah sakit parah kalau terlalu capek. Jadi akhirnya kami lebih menahan-nahan untuk tidak ikut umrah lagi. Sedangkan beberapa teman2 lain masih semangat terus untuk berumrah di hari-hari berikutnya baik yang sunnah maupun umrah badal. Kami tidak tahu apakah pemahaman mereka sama seperti yang disampaikan oleh ibu2 yang berasal dari sukabumi tadi, mumpung disini mereka ingin sebanyak mungkin melakukan Umrah. wallahuallam.

Ustad Asathin ketika ditanya, hanya tidak menganjurkan karena alasan lebih utama menjaga fisik untuk haji yang akan datang beberapa hari lagi. Selain itu, melihat tata cara tahalul yang dilakukan juga tidak seperti yang dilakukan oleh nabi. Mereka hanya memotong minimal 3 helai rambut baik pria dan wanita. Padahal Rasulullah jelas mendoakan orang yang bertahalul dengan megundul rambutnya sebanyak tiga doa lebih banyak dari pada orang yang hanya memendekkan rambutnya. Para ulama berpendapat khusus untuk yang melaksanakan haji tamattu‘ lebih utama bertahalul setelah umrah dengan memendekkan rambut secara keseluruhan. Usahakan semua bagian rambut tercukur meskipun sedikit. Ternyata pendapat memotong 3 helai rambut itu sangat lemah hadistnya. Ketahuilah teman-teman semua bahwa setiap helai rambut yang dicukur, kamu akan mendapatkan satu kebaikan dan menghilangkan satu keburukan, serta menaikan derajat satu tingkatan. Maka kebayang kalau hanya potong 3 helai rambut, hanya sedikit yang kita peroleh. Namun ketika itu kami belum punya ilmunya untuk sharing. Pada saat itu hanya bisa berdoa, semoga ibadah dan usaha mereka diterima oleh Allah SWT.

Namun semua itu berubah ketika petunjuk Allah datang. Petunjuk pertama datang ketika Neng membaca buku manasik salah seorang teman yang dikarang oleh Yazid bin abdul qadir jawas. disitu diungkap bahwa ternyata jika hal tersebut dijadikan sebuah kepastian ibadah maka hal tersebut temasuk bidah. Cukup terkejut mengetahuinya. Menurut buku ini, amalan2 yang sebaiknya dipelihara ketika menunggu waktu haji di tanah suci bukan umrah berkali-kali melainkan diantaranya shalat 5 waktu yang tidak tertinggal di mesjidil haram (karena pahalanya yang 100ribu kali lipat), amalan utama lainnya dengan memperbanyak tawaf sunnah. Memang betul, keluar masuk tanah haram memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan kadang membuat kami harus shalat di selain mesjidil haram. Selain itu tawaf dan sai umrah cukup menguras tenaga hingga tubuh kelelahan jika ingin melakukan tawaf sunnah.

Selain itu ketika kami di Madinah, Ustad Anas dalam salah satu kajian ba’da subuh di Mesjid Nabawi mengatakan, bahwa tidak ada contoh baik dari rasul ataupun para sahabat yang melakukan ibadah umrah dalam satu perjalanan berulang kali. Menurut para ulama, umrah berkali2 seperti ini bersifat makruh. Disitu di bilang bahwa boleh umrah lebih dari sekali jika dilakukan dalam waktu perjalanan sendiri2, karena Rasulullah melaksanakan empat umrahnya, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini. Kasus Aisyah yang dijadikan dasar itu menurut ustad Anas berdasarkan pendapat para ulama adalah kasus khusus yang tidak bisa dijadikan dalil umum.


pelataran mesjid aisyah, banyak orang yang berihram dari sini
Kasus khususnya adalah Aisyah RA pada saat itu sedang melakukan haji bersama Rasulullah SAW dan ia sedang berhalangan. Dia takut sekali umrah yang berbarengan dengan hajinya batal sehingga ia menangis. kemudian Rasulullah untuk menenangkannya mengizinkan dan menyuruh Aisyah untuk berumrah lagi dengan keluar ke Tan’im ditemani oleh saudara laki2nya. Selama melaksanakan umrah, saudara laki2 Aisyah ini hanya menemani dan tidak ikut melaksanakan umrah dan tidak ada orang lain yang umrah lagi saat itu kecuali aisyah.  Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya. Atas kondisi inilah para ulama sepakat bahwa umrah lebih dari satu kali dalam satu perjalanan tidak ada dalilnya. Dan lebih2 setelah itu tidak ada satupun sahabat (dari sekitar 10.000 sahabat) yang melaksanakannya. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama[sumber dari sini]. Wallahualam.

.... Ya Allah atas ketidak tahuan dan kebodohan kami ini kami mohon ampun....

Bersambung...

0 comments:

Post a Comment

 

Flickr Photostream

Created with flickr badge.

YOUTUBE